Melihat
dari persepsi sebagian
besar masyarakat saat ini, yang mengatakan bahwa obat generik adalah
obat-obat yang kurang berkualitas, karna obat-obatan ini sebagian besar
terdapat di Puskesmas dimana pasien kebanyakan dari
masyarakat yang kurang mampu. Padahal kalau dibandingkan dengan obat
paten
kandungan kimia dan khasiatnya sama saja, tidak ada perbedaan. Perbedaan
yang
pasti terjadi adalah pada harga. Dimana harga obat generik jauh lebih
murah
dibandingkan obat paten.
Obat paten adalah obat yang
memiliki nama dagang milik produsen yang memproduksi obat tersebut. Sedangkan obat generik adalah obat yang telah habis masa
patennya, sehingga dapat diproduksi oleh semua perusahaan farmasi tanpa perlu membayar
royalti. Inilah yang membuat obat generik lebih murah. Akibat dari
persepsi buruk masyarakat terhadap obat
generik yaitu menurunkan produksi obat generik di Indonesia, karna dinilai kurang
membawa keuntungan, dilihat dari sedikitnya jumlah permintaan oleh masyarakat.
Direktur Jenderal Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Sri Indrawaty dalam seminar
internasional Akses terhadap Obat dan Dampaknya terhadap Kebijakan Obat
Nasional di Jakarta, Senin (3/10), mengatakan, penggunaan obat generik di
Indonesia hanya sekitar 11 persen dari konsumsi obat nasional. Padahal dinegara
lain penggunaannya sudah mencapai 50 persen. Disini terlihat perbedaannya,
karna di negara lain produksi obat generik didukung oleh pemerintah dalam hal
produksi ataupun pemasarannya, didukung pula dengan kesadaran dokter yang
memeriksa dan memberikan resep kepada pasiennya.
Mungkin inilah penyebab persepsi buruk masyarakat di Indonesia, terutama pada obat generik yang diberikan oleh Puskesmas. Padahal tujuan Pemerintah pada obat generik ini agar masyarakat bisa mendapatkan obat yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Dan tidak dipasarkannya obat generik ini adalah agar produsen tetap bisa mendapatkan keuntungan dari produksinya. Tapi seiring berjalannya waktu, produsen menginginkan terdapatnya logo pada obat produksi mereka. Dengan catatan agar harga yang dipasarkan tetap dikontrol oleh Pemerintah, maka pemberian logo ini diperbolehkan. Industri obat generik dibedakan menjadi 2 jenis yaitu ;
Mungkin inilah penyebab persepsi buruk masyarakat di Indonesia, terutama pada obat generik yang diberikan oleh Puskesmas. Padahal tujuan Pemerintah pada obat generik ini agar masyarakat bisa mendapatkan obat yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Dan tidak dipasarkannya obat generik ini adalah agar produsen tetap bisa mendapatkan keuntungan dari produksinya. Tapi seiring berjalannya waktu, produsen menginginkan terdapatnya logo pada obat produksi mereka. Dengan catatan agar harga yang dipasarkan tetap dikontrol oleh Pemerintah, maka pemberian logo ini diperbolehkan. Industri obat generik dibedakan menjadi 2 jenis yaitu ;
1.
Obat generik
bermerek dagang, yaitu obat yang diberi merek dagang oleh perusahaan farmasi
yang memproduksinya.
2.
Obat generik
berlogo, dipasarkan dengan tampilan produk mencantumkan merek
kandungan zat aktifnya dan juga logo perusahaan. Misalnya, oleh pabrik ”A”
diberi merek ”inemicillin”, sedangkan pabrik ”B” memberi nama ”gatoticilin” dan
seterusnya, sesuai keinginan pabrik obat. Dari berbagai merek tersebut,
bahannya sama: amoxicillin.
Saat ini, Perusahaan obat dalam negeri lebih banyak
memproduksi obat generik dari obat yang telah habis masa patennya, kemudian
diberi merek dagang. Kalangan perusahaan farmasi lokal cenderung memposisikan
produk semacam ini sebagai “obat paten” (mungkin karena mereknya didaftarkan di
kantor paten), walau sebenarnya lebih tepat disebut sebagai “branded generic”,
alias obat generik bermerek itu tadi.
0 komentar:
Posting Komentar