Sebuah analisis terbaru dari penelitian es di Antartika menunjukkan bahwa pemanasan suhu global yang tajam dan mengakhiri zaman es terakhir terjadi merupakan langkah penting pada peningkatan karbon dioksida di atmosfer, indikasi terbaru bahwa gas karbon dioksida memberi pengaruh besar pada iklim bumi.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa dunia mulai muncul saat zaman es sekitar 20.000 tahun yang lalu, pemanasan di Antartika membawa perubahan yang diawali pada tingkat karbon dioksida secara global seperti halnya pada 800 tahun yang lalu.
Selisih yang relatif panjang tersebut menyebabkan beberapa perubahan iklim yang menegaskan bahwa meningkatnya kadar karbon dioksida pada dasarnya tidak relevan dengan suhu bumi merupakan efek samping dari pemanasan planet bumi, hal itu mungkin, tetapi bukan penyebabnya.
Ilmuwan iklim mainstream utama menolak pandangan hal tersebut dan menyatakan bahwa karbon dioksida, bahwasanya tidak memulai akhir dari zaman es, tetap memainkan peranan penting dalam loop yang menyebabkan pemanasan global secara substansial. Namun, jarak yang panjang antara peningkatan awal suhu dan karbon dioksida agak sulit bagi dijelaskan para ilmuwan.
Gelombang penelitian terbaru pada beberapa tahun terakhir meningkatkan kemungkinan bahwa sebenarnya terdapat celah kecil, bilamana ada.
Paper terbaru yang dipimpin oleh Parrenin Frédéric dari Universitas Grenoble, di Perancis, dan dijadwalkan untuk dipublikasikan pada hari Jumat di jurnal Science. Menggunakan metode yang relatif baru, dengan presisi tinggi dari teknik kimia, kelompok ilmuwan tersebut berusaha untuk merekonstruksi waktu yang tepat pada peristiwa yang mengakhiri zaman es.
Para ilmuwan telah lama mengetahui bahwa zaman es disebabkan oleh variasi orbit bumi mengelilingi matahari. Ketika intensifikasi sinar matahari mengakhiri zaman es, mereka meyakini bahwa karbon dioksida keluar dari lautan dan menyebabkan amplifikasi besar pada pemanasan global tahap awal.
Sejak tahun 1980-an, para ilmuwan telah mengumpulkan data iklim dengan mengekstraksi silinder dari lapisan es di Greenland dan Antartika, serta gletser di pegunungan tinggi.
Gelembung udara yang terjebak dalam es memberikan bukti langsung pada komposisi masa lalu di atmosfer. Dan variasi kimia halus dalam es itu sendiri untuk memberikan indikasi suhu lokal pada saat ia terbentuk.
Masalahnya adalah udara tidak dapat disegel/tangkap dalam es sampai ratusan atau bahkan ribuan tahun setelah salju jatuh, karena perlahan-lahan akan terkubur dan terkompresi.
Itu berarti es dan gelembung udara yang terperangkap di dalamnya tidak memiliki usia yang sama, sehingga sulit bagi para ilmuwan menempatkan komposisi atmosfer untuk direkonstruksi dan suhunya pada skala waktu yang sama.
Dengan peningkatan teknik, kelompok Dr Parrenin berusaha untuk memperjelas inti es yang sebelumnya dari Antartika. Daripada perbedaan 800-tahun antara suhu dan peningkatan karbon dioksida yang ditemukan pada beberapa penelitian sebelumnya, pekerjaan mereka menunjukkan bahwa selisih zaman es mulai berakhir kurang dari 200 tahun, dan mungkin tidak ada perbedaan sama sekali.
“Sebelum, karena hasil perbedaan suhu yang salah dalam CO2, orang-orang menafsirkan bahwa peran CO2 lemah dalam variasi iklim di masa lalu,” kata Dr Parrenin.
Memang, walaupun para ilmuwan iklim belum pernah melihat perbedaan sebagaimana mestinya pada masalah konseptual utama, telah didengungkan berulang kali oleh para politisi Amerika yang ingin menunda aksi untuk pencegahan pemanasan global.
Pada tahun 2007, misalnya, mantan Wakil Presiden Al Gore bersaksi pada Kongres Amerika mengenai film dokumenter “An Inconvenient Truth.”. Dia mendapatkan serangan dari Perwakilan Joe L. Barton, seorang Republikan asal Texas.
“Tingkat CO2 naik setelah suhu global naik,” ungkap Mr Barton yang mengutip sebuah makalah ilmiah pada tahun 2001. “Suhu tersebut muncul dan mendorong CO2, bukan sebaliknya. Pada titik ini, Bapak Wakil Presiden, Anda tidak hanya sedikit salah. Kamu benar-benar salah. “
Bukti yang muncul menunjukkan bahwa ternyata Mr.Gore benar.
Richard B. Alley, seorang ilmuwan iklim di Pennsylvania State University yang tidak terlibat dalam pekerjaan baru tersebut, mengatakan dalam e-mail yang pada dasarnya menegaskan pemahaman ilmiah sebelumnya.
“Apa yang dilakukan ini lebih jelas dari yang sebelumnya, yaitu untuk menunjukkan bahwa perubahan suhu erat digabungkan dengan perubahan CO2 yang besar,” katanya.
Makalah Dr Parrenin adalah yang ketiga dalam beberapa tahun terakhir untuk menunjukkan bahwa perbedaan dalam catatan iklim antara suhu kutub dan CO2, jika-pun ada maka hal itu relatif kecil. Dan Jeremy Shakun, seorang sarjana tamu di Harvard, menunjukkan dalam makalah tahun lalu bahwa waktu kenaikan suhu di Antartika tidak dapat dianggap mewakili suhu dunia secara keseluruhan. Ketika ia menyusun catatan suhu global untuk akhir zaman es, ia menemukan bahwa peningkatan karbon dioksida datang terlebih dahulu baru dikuti dengan peningkatan suhu berikutnya.
Hubungan erat iklim masa lalu antara temperatur dan karbon dioksida merupakan alasan utama para ilmuwan telah memperingatkan bahwa masyarakat modern dalam risiko besar dengan membakar CO2 yang dihasilkan dari bahan bakar fosil.
Tingkat karbon dioksida di atmosfer telah melonjak 41 persen sejak Revolusi Industri yang dimulai pada abad ke-18, dan para ilmuwan khawatir hal itu dapat menjadi dua atau tiga kali lipat lebih intensif kecuali terdapat upaya yang dilakukan untuk mengendalikan emisi saat ini.
Bahkan konsentrasi gas saat ini, bukti-bukti menunjukkan bahwa kenaikan permukaan laut 25 feet atau lebih telah tak terelakkan, meskipun terjadi secara jangka panjang.
“Kita baru hanya memasuki era baru dalam sejarah bumi,” kata Dr Shakun. “Ini akan menjadi planet yang baru di masa depan. Saya pikir satu-satunya pertanyaan adalah, seberapa cepat transformasi yang akan terjadi? “
0 komentar:
Posting Komentar