Mama Aleta: Berjuang Mempertahankan Lingkungan, Melawan Tambang dengan Menenun
April 2013, mungkin menjadi hari penting bagi Aleta Baun. Pada
bulan ini, mama Aleta, begitu biasa disapa, menerima penghargaan The
Goldman Environmental Prize di San Fransisco, California, Amerika
Serikat. Penghargaan ini diberikan oleh tokoh masyarakat dan dermawan,
Richard N. Goldman dan istri, Rhoda H. Goldman untuk mendukung
orang-orang yang berjuang mempertahankan lingkungan hidup dari ancaman.
Ia juga diberikan kepada figur-figur yang mengilhami orang-orang biasa
untuk mengambil tindakan-tindakan luar biasa dalam melindungi alam di
dunia ini.
Penghargaan ini sangat layak bagi mama Aleta, atas
perjuangan mempertahankan lingkungan dari cengraman tambang di Gunung
Mutis, Molo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Gunung Mutis, memiliki keragaman
hayati tinggi. Ia merupakan daerah hulu untuk semua aliran sungai utama
Timor Barat, yang memasok air minum dan air irigasi bagi penduduk di
pulau itu. Tak hanya itu, masyarakat mencari makanan dan obat-obatan
dari hutan, dan menanam hasil bumi di tanah subur itu. Bahkan, pewarna
alami tenunan diperoleh dari tumbuh-tumbuhan alam ini. Hubungan
spiritual warga dan lingkungan begitu kuat. Tak heran, kala alam hendak
diganggu, penolakan muncul. Mama Aleta, tampil menjadi motor penggerak.
Sejak
1996, mama Aleta berjuang. Dia menjadi ‘musuh’ perusahaan maupun
pemerintah daerah, saat itu. Nyawa terancam. Mereka menawarkan hadiah
pada siapapun yang dapat membunuh Mama Aleta. Bersyukur, dia selamat
dari usaha percobaan pembunuhan. Mama Aleta lari menyembunyikan diri di
dalam hutan bersama sang bayi. Warga lain yang terus berjuang ditahan
dan dipukuli. Namun, mereka tetap gigih berjuang. Mama Aleya tetap
mengorganisir ratusan warga desa aksi damai, menduduki tempat-tempat
penambangan marmer. Mereka protes sambil menenun. Berkat perjuangan
gigih itu, pada 2007, Mama Aleta dan warga berhasil menghentikan
perusakan tanah hutan sakral di Gunung Mutis. Perusahaan-perusahaan
tambang itupun hengkang.
Tambang sudah tak ada. Kini, Mama Aleta
bersama berbagai komunitas di seluruh wilayah Timor Barat memetakan
hutan adat mereka. Ini untuk melindungi tanah-tanah adat dari jamahan
tangan-tangan perusak di masa depan. Mama Aleta juga memimpin berbagai
usaha untuk menciptakan berbagai peluang ekonomi baik dengan pertanian
ramah lingkungan dan bertenun. Baru saja, pada Maret 2013 ini,
kelompok-kelompok tenun ini menemukan ‘resep’ baru warna-warna alami
dari beragam tumbuhan.
Guna mengetahui kisah perempuan pejuang
lingkungan ini, berikut ini wawancara dengan Mama Aleta, pada dua
kesempatan, menjelang penerimaan penghargaan dan awal April 2013, di
sela-sela acara Meet the Makers di Jakarta. Berikut petikannya.
Mongabay Indonesia: Bisa diceritakan bagaimana perjuangan mama Aleta, bersama warga menolak tambang?
Mama Aleta:
Sejak 1980-an, pemerintah mengeluarkan izin-izin tambang batu marmer di
Molo. Warga tidak tahu. Perusahaan masuk hutan, tebang pohon. Bencana
datang, tanah longsor, sampai pencemaran air. Perusahaan terus membabat
hutan dan memotong batu marmer dari gunung. Ini ancaman bagi kami,
karena dari sana kami hidup. Kami hidup dari alam. Mulai 1999, sejumlah
kecil perempuan dan saya memutuskan kami harus bertindak untuk
menghentikan penambangan. Kami merasa satu-satunya cara dengan pergi
dari satu rumah ke rumah lain. Dari satu desa ke desa lain dan
menjangkau sebanyak mungkin orang untuk menyampaikan pesan kami.
Rumah-rumah dan desa-desa terletak berjauhan. Kadang kami harus berjalan
enam jam untuk mencapai desa satu ke desa lain. Kami meyakinkan
orang-orang untuk bergabung. Kami ingatkan mereka akan keyakinan kami
tidak akan dapat hidup tanpa semua unsur-unsur dari alam. Kami juga
menekankan pada para perempuan bahwa hutan menganugerahi kami dengan
zat-zat pewarna tenun. Ini bagian penting dalam hidup kami.
Perjuangan
berat. Kami menghadapi intimidasi dengan kekerasan. Namun, gerakan
terus jalan sampai ratusan warga desa ikut. Sampailah pada aksi
pendudukan sambil menenun sekitar 150 perempuan. Ini sekitar satu tahun
di lokasi penambangan marmer. Perempuan punya alat-alat tenun, kapas dan
pewarna dari alam. Kami pun protes dengan menenun pakaian tradisional.
Hutan kami tak boleh rusak. Kalau rusak, perempuan tak bisa
beraktivitas. Itu tempat kami cari makanan, bikin pewarna benang sampai
obat-obatan. Jadi harus kami pertahankan.
Mongabay Indonesia: Kapan perjuangan mulai menampakkan titik terang dan perusahaan hengkang?
Mama Aleta:
Saat protes sambil menenun, warga pun makin banyak yang ikut mendukung.
Kami terus berjuang, meminta pada pemerintah agar cabut izin. Meminta
perusahaan tak rusak hutan kami. Pada 2007, mulai ada hasil. Aksi-aksi
warga mulai jadi perhatian pemerintah. Memang perjuangan panjang. Pada
2010, karena menghadapi tekanan perusahaan pertambangan berhenti. Ada
empat pertambangan di Molo, semua berhenti.
Mongabay Indonesia: Apakah izin-izin perusahaan itu dicabut pemerintah?
Mama Aleta:
Saya tidak tahu pasti. Karena pemerintah kacau, sama saja dengan
perusahaan, jadi saya tidak tahu, apakah itu izin dicabut atau tidak.
Tetapi kami tahu, tambang itu tidak ada operasi lagi karena kami terus
menolak.
Mongabay Indonesia: Saat para perempuan menduduki kawasan tambang sambil menenun, bagaimana peranan pria Molo mendukung gerakan ini?
Mama Aleta:
Dalam kebudayaan Molo, kaum perempuan diharapkan menjadi ibu rumah
tangga dan merawat keluarga. Namun saat kami protes, kaum perempuan
sadar mereka dapat melakukan lebih banyak. Kaum perempuan juga pemilik
tanah yang sah dalam kebudayaan Molo. Hak ini kami bangkitkan kembali
bagi kaum perempuan yang saat itu belum aktif mengungkapkan pendapat
guna melindungi tanah mereka. Suku adat Molo yakin, amatlah penting bagi
kaum perempuan berada di garis depan protes dan berperan sebagai juru
perunding. Kamilah yang memanfaatkan hutan untuk bertahan hidup. Kaum
pria mendukung kami, namun tidak menempatkan diri di garis depan karena
kemungkinan besar mereka akan terlibat dalam perkelahian atau konflik
dengan perusahaan-perusahaan pertambangan dan menjadi target
serangan-serangan. Jadi, saat perempuan aksi, para pria yang berperan di
rumah tangga, dari memasak sampai menjaga anak-anak.
Mongabay
Indonesia: Sekarang tambang sudah pergi, perempuan terus mengembangkan
tenun sebagai warisan budaya dan sumber ekonomi. Bagaimana perkembangan
kegiatan menenun saat ini?
Mama Aleta: Saat ini makin
banyak perempuan yang ikut menenun. Namun, sempat ada ketergantungan
dengan benang-benang kota, benang-benang produksi dari perusahaan besar.
Jadi, penenun tergantung dari perusahaan.
Mongabay Indonesia: Bagaimana menyikapi ketergantungan dari benang ‘kota’ ini?
Mama Aleta:
Saya terus yakinkan semua sudah ada disediakan, dari benang sampai
warna dari alam di daerah kami. Lalu, mulailah kami membuat benang dari
kapas. Kami juga berusaha membuat warna-warna alami. Sebelumnya sudah
ada warna-warna warisan orang-orang tua kami, tapi kami terus mencari
temuan-temuan warna lain. Mulai Maret tahun ini kami bikin tenunan dari
benang buatan sendiri dan warna-warna alam.
Mongabay Indonesia: Bisa diceritakan penemuan warna-warna alami hasil uji coba itu?
Mama Aleta: Sebenarnya
ini eksperimen sejak lama, tapi mulai digerakkan kembali awal tahun
ini. Cukup stres juga coba-coba cari warna yang pas, dengan tanaman apa
saja, dan komposisi bagaimana. Sekitar tiga minggu kami coba-coba.
Akhirnya, Maret 2013 ini kami bisa temukan. Ini ada coklat tua dari
tanaman matani, coklat dari angkai, daun kesum untuk warna orange. Kiss
kase untuk pink, hijau dari daun suji dan kacang hutan. Lalu, merah dari
kulit pohon nila.
Mongabay Indonesia: Setelah perjuangan panjang ini, apa harapan Mama Aleta?
Mama Aleta:
Harapan saya, para perempuan kembali pada pengetahuan lokal yang
dimiliki dan mencintai lingkungan. Kepada pemerintah, saya berharap agar
mampu mengembangkan produk-produk tradisional rakyat yang tak
menghancurkan lingkungan dan alam.
0 komentar:
Posting Komentar